Apoteker: Life long learner


Oleh: Sarmoko

Bagi seorang farmasis, tentu tidak asing lagi dengan istilah ini. Yak, ini adalah salah satu bintang dari Eight Star Pharmacist, yang berarti: “Farmasis harus senang belajar sejak dari kuliah dan menjamin bahwa keahlian dan ketrampilannya selalu baru (up-date) dalam melakukan praktek profesi. Farmasis juga harus mempelajari cara belajar yang efektif”. Dan definisi ini tidak berhenti pada farmasis yang praktek profesi di ranah klinis, tapi juga bagi mereka yang bergelut di akademis.

Hari ini saya bertemu dengan 2 mahasiswa yang mengajak diskusi. Saya sih fine2 aja, dan menyambut gembira. Mahasiswa pertama datang membawa sebuah artikel tentang Metode MTT, yang dikatakan oleh penulis tidak cocok jika metode ini disebut untuk mengukur viabilitas sel. Paper yang berjudul “Cytotoxic Effect of Some Mycotoxins and Their Combinations on Human Peripheral Blood Mononuclear Cells as Measured by the MTT Assay” belum selesai saya pahami. Tapi bisa ditangkap pada halaman 6 sbb:

Therefore, this assay is not always appropriate for measuring cell viability and proliferation,  especially if metabolic activity of the cells is increased as  observed in PA-treated cells [32]. Inhibition of Concavalin A induced PBM proliferation by some mycotoxins, including PA and CIT, has been reported recently [30, 42]. In such a way, when cell viability is calculated via MTT assay, it appears that PA-treated cells can significantly increase cell viability irrespective that the number of living cells in PA-treated cell suspensions is usually lower than in untreated controls. Therefore, in order to avoid this contradiction and confusion, it is not correct to maintain the statement that MTT bioassay is used as a parameter for cell viability and number of living cells, as it is stated by many authors [17, 32, 39, 41, 43-46].

The correct statement must be that the MTT bioassay is used as a parameter for mitochondrial or glycolytic metabolic activity of living cells and if that activity of experimental and control cells is the same, it could be supposed that any decrease of metabolic activity in experimental wells could suggest a decreased cell viability or inhibition of cell proliferation. This is very important, because many mycotoxins like OTA, CIT and T-2 have toxic effects on mitochondrial activity and in particular mitochondrial enzymes [47-49] like succinyl dehydrogenase [50].

to be continued…..

Mahasiswa kedua, mengajak diskusi tentang nanopartikel. Di sekolah, saya tidak mendapat materi ini hanya pernah mendengar presentasi dari Bapak Ronny Martien saat diseminasi hasil penelitian Nanocurcumin di Fakultas dan hasil diskusi dengan teman S2 minat formulasi. Ada2 teknik pembuatan nanopartikel yaitu bottom up dan top down. Teknik bottom-up berawal dari molekul dalam larutan yang kemudian mengalami asosiasi membentuk partikel padat. Sedangkan pada teknik top-down dari material kasar kemudian diaplikasikan gaya untuk mendisintegrasi ke dalam ukuran nano.

Metode yang paling sering digunakan untuk menyiapkan nanopartikel diantaranya adalah : (i) metode dispersi polimer, (ii) metode polimerisasi, dan (iii) metode koaservasi atau metode gelasi ionik. Pada pembuatan nanocurcumin, cara yang dipakai adalah metode gelasi ionik. Adanya perbedaan muatan dengan chitosan, chitosan (muatan -) memberikan interaksi elektrostatik yang kuat dengan muatan negatif dari kurkumin sehingga terbentuk nano.

Tambahan informasi dari internet, dikatakan bahwa Nanocurcumin juga dikembangkan oleh sekelompok scientist dari Johns Hopkins University School of Medicine dan the University of Delhi. Mereka membuat curcumin dalam bentuk nano-encapsulated yang dapat dengan mudah terdispersi pada medium ber-air (could far more easily slip into the bloodstream). Dikatakan, cara ini adalah untuk mengatasi masalah curcumin yang memiliki bioavaibilitas yang buruk. Jika seorang dokter akan melakukan uji klinis, maka diperlukan pemberian 12 gram/hari (bahkan lebih, hmm..jumlah yg cukup besar). Amarnath Maitraused (ahli kimia, salah satu tim dari penelitian ini) menggunakan polimer khusus untuk mensintesis nanopartikel tipis dengan diameter sekitar 50 nanometer. Partikel ini memiliki sifat hidrofobik pada interior dan hidrofilik pada bagian eksterior. Komponen hidrofobik mencengkeram curcumin, sedangkan komponen hidrofilik membuat partikel menjadi terlarut.  Dengan langkah ini, maka partikel ini dapat dengan mudah menembus  usus dan masuk ke pembuluh darah. Sekali masuk ke darah, polimer mengalami degradasi perlahan dan curcumin keluar (bocor).

Hasil uji yang dilakukan secara in vitro dilaporkan bahwa pada sel kanker pankreas, nanocurcumin mempunyai efektivitas yang sama dengan regular curcumin, yaitu sama-sama menghambat NF-kB dan mampu men-downregulation IL-6. Pada uji awal, dikatakan sel kanker pankreas mengambil lebih banyak bentuk baru curcumin ini dibanding regular curcumin. Dan, dilaporkan ketika nanocurcumin diberikan ke mencit, tidak ada efek negatif yang dilaporkan (no evidence of weight loss, and no gross organ changes were seen at necropsy. No behavioral changes were observed in the mice during the course of administration, or in the ensuing follow up period). (link artikel).

Ada juga artikel menarik yaitu curcumin dibuat dalam bentuk liposom. (link artikel). Bentuk nano-sized curcumin capsules dapat meningkatkan uptake tubuh terhadap curcumin dan meningkatkan potensinya dalam mencegah kanker kolon dan penyakit Alzheimer’s, seperti yang disarankan oleh sekelompok peneliti Jepang dan IPB ini. Teknologi yang digunakan adalah sediaan liposom, suatu mikrokapsul berukuran kecil yang dibuat dari fosfolipid, sehingga mampu meng-enkapsulasi curcumin dan mampu meningkatkan absorbsinya sampai empat kali lipat.

Proses persiapaan pembuatan liposom, menggunakan lesitin untuk encapsulation curcumin. Curcumin yang dipakai adalah 2.5%, peneliti mampu memperoleh efisiensi enkapsulasi sebesar 68%, dengan ukuran partikel sekitar 263 nanometer. Formulasi ini kemudian diberikan pada tikus Sprague-Dawley dengan dosis 100 mg/kg BB. Hasil menunjukan nano-encapsulated curcumin ketersediaan dalam darah meningkat sampai 320 microgram/liter, dibandingkan dengan curcumin reguler yaitu hanya 65 microgram/liter.“These results indicated that curcumin enhanced the gastrointestinal absorption by liposomes encapsulation,” said the researchers.

Efek penguatan ini bisa terjadi karena ukuran partikel, dibandingkan dengan penelitian lain bahwa liposom berukuran sekitar 200 nanometer secara efektif bisa diserap oleh intestine, dan menghindari metabolismenya di hepar. Penggabungan curcumin dengan liposom membuatnya ter-include dalam membran phospholipid tubuh sehingga memperlama kontak dengan dinding intestinal karena sifat sifat adhesive liposom terhadap permukaan mucosal eptelial small intestine.

Selain itu, juga di amati aktivitas antioksidannya setelah pemberian (ingestion) curcumin liposom, dan memberikan aktivitas 3 kali dibanding curcumin reguler pada hewan.

Saat ini nanocurcumin sedang menjalani Fase 1 Clinical trial, juga dengan nanoresveratrol. (link). Curcumin dikatakan Agarwall sangat aman dan memiliki banyak aksi farmakologis seperti kanker, Alzheimer dan cystic fibrosis.

Artikel Berita terkait:  link (Margaret Corner), link 2 (Technology Review), link 3 (Johns Hopkins) dan curcumin encapsulated

One thought on “Apoteker: Life long learner

Leave a comment